Tuesday, January 22, 2013

Ayah


Kubuka kardus lusuh yang berada didalam gudang. Menatapi satu demi satu barang-barang yang ada didalamnya. Seketika mataku tertuju pada satu album foto yang sudah tertutupi banyak debu. Kuusapkan tanganku, membersihkan album foto itu dari debu-debu yang menghinggap disampulnya. Setelah debu-debu itu tesingkir, aku bisa melihat suatu tulisan tertempel didalam sampulnya. “The Memorial.”
Kubuka Album foto tersebut, terlihat tulisan tangan tertulis diatasnya. Tulisan sambung yang indah. Sebuah bait dari coretan pena yang singkat namun memiliki arti yang sangat berarti. Dan tertulis diakhir bait tersebut, sebuah nama yang sangat tak asing bagiku.
Aku tersenyum simpul saat membaca baitan ini, kubuka halaman selanjutnya yang menunjukan sebuah foto seorang lelaki dewasa dengan wajah mapan, tegas, dan percaya diri. Dibelakangnya, terlihat sebuah menara effiel, dengan lampu-lampu menyala mengelilingi menara effiel tersebut. Lelaki itu tersenyum, terlihat sangat bangga dia bisa berfoto di tempat seindah itu. kulihat dan kubuka halaman-halaman selanjutnya, masih menampakkan foto lelaki dewasa itu. dan aku tau betul siapa dia, walaupun aku belum pernah —atau tak akan pernah— melihatnya. Dia… ayahku. Ayah kandungku. Yang kini aku yakin dia sudah berada di tempat  yang sangat terindah di alam sana. Aku pun yakin disaat ini dimana aku sedang melihat foto-fotonya, dia sedang melihat aku dengan senyum terindahnya disana.
Empat belas tahun yang silam, sosok lelako yang ada di album ini adalah sosok lelaki yang dapat selalu memberikan kedamaian untuk keluarga kecilnya, yaitu ibuku, kakakku dan diriku yang masih berada di dalam kandungan ibuku. Kelimpahan materi beserta kasih sayang yang selalu dia berikan, karena dia tahu tidak ada waktu banyak yang dapat dia berikan karena kesibukannya. Kedudukan beliau di tempat kerjanya sangatlah mengharuskannya keliling banyak daerah, sehingga kami sekeluarga pun sering ditinggalnya, tapi sebelum keluarga kami menetap di kota kembang ini, keluarga kami bisa dikatakan keluarga yang nomaden. tapi sayangnya diriku belum pernah melihat keindahan kota-kota dan daerah-daerah yang pernah ayah, ibu dan kakakku singgahi. Yah…yang aku tahu sekarang hanyalah cerita-cerita manis yang kakak dan Ibuku sering ceritakan. Dari mulai hal konyol hingga ketegasan yang ada pada diri beliau. Mmmmm aku pun mulai bermain dengan imajinasiku tentang ayah,karena entah karena apa aku mulai teringat perkataan kakaku, kalau sosok ayahku ini sesudah sukses dipekerjaannya, perawakannya berubah menjadi besar (akupun tertawa kecil membayangkannya)…tapi walaupun besar, atau bisa dibilang gemuk, ayahku adalah pria terganteng dan sosok ayah yang terbaik di dunia, ya walaupun aku belum pernah bertemu langsung dengannya, tapi aku meyakini itu. Mmmm akupun mulai memandangi album-album lain yang berserakan di sekitarku, dan dari sini aku bisa menebak kalau ayah sangatlah suka memoto, traveling, dan sebagainya.
Dari bawah aku bisa mendengar suara teriakan ibuku memanggil namaku. Jadi kumasukan kembali album-album foto itu, membereskannya kembali kedalam kardus. Dan membawa benda yang ibuku suruh untuk dibawa dari gudang ini.

***

Bel masuk kelas akhirnya terdengar, semua anak-anak dikelasku masih ricuh. Kelasku masih terlihat berantakan sekali. Sampah-sampah masih berhamburan dilantai, beberapa dari anak lelaki mulai membuat pesawat-pesawatan dari sebuah kertas, sedangkan anak perempuan masih ribut dengan gosip-gosip anehnya. Karena masih tahun ajaran baru, aku masih belum bisa mengenal teman-teman sekelasku. Jadi, yang kulakukan hanya menatap kericuhan kelas. Salah satu anak perempuan yang sedang ribut dengan gosip-gosip anehnya itu seketika memandangku, memandang jijik. Saat mataku bertemu dengan matanya, dia memberiku tatapan tajam dan lalu mendelikkan matanya. Ya, bisa kubaca, anak itu tak suka denganku. Setiap dia memandangku, dia selalu memberikan pandangan itu.
“Ah, hari lahir Camilia sama dengan hari Ibu.” Ucap teman sebangku memecahkan keheningan disekitar kami. Membuatku terhindar dari anak perempuan itu.
“oh ya? Ah, andai saja ada hari Ayah.” Kata Lovita bergabung dalam percakapan. Aku tertunduk sesaat. Memikirkan jika memang ada yang namanya Hari Ayah. Lalu, harus kuberi selamat untuk siapa jika Hari Ayah itu ada?
“Ayah itu, ‘kan tak berjasa seperti ibu.” Seru Tantri, teman sebangku Lovita. “Lagipula, surga kan ada ditelapak kaki ibu, bukan ayah. Ya jadi, untuk apa coba ada hari ayah?” tambahnya sembari tertawa.
“Tidak…” sergahku cepat. Mereka bertiga mulai memandangiku. “Walaupun ayah itu tak berjasa, dan surgapun tak ada ditelapak kakinya, tapi Ayah yang memberi kehidupan untuk kalian. Kalau ayah gaada, mau makan pake apa? Terus uangnya dari siapa?” aku berhenti sejenak, memandang keluar jendela, berjaga-jaga kalau guru pelajaran pertama kami masuk. “Kalian, ‘kan enak, tinggal terima uang dari ayah, dan menyuruh ibu kalian memasak. Sedangkan aku? Ibuku yang mencari uang, ibuku yang memasak. Segalanya ibuku.” Bisa kulihat dari mimik wajah dan berkilaunya mata mereka, mereka merasa malu dan bersalah. Akupun tak menyangka, bisa-bisanya aku berkata seperti itu.
Terjadi keheningan setelahnya, Tantri dan Lovita, mulai kembali menyibukan diri mereka dibangku masing-masing. Amelia, teman sebangkuku, mulai membaca kumpulan kertas biodata-biodata dari kelas kami ini. Dan aku mulai menyibukan diriku dengan mengoprek handphone-ku. Tak lama setelah itu, Guru kamipun mulai memasuki kelas, dengan ocehan tidak jelasnya karena kelas kami yang kotor, kami langsung terduduk tegap dan memerhatikannya.

***

Hari terus berganti hari, masih seperti ini. Ibuku berkerja, kakakku kuliah, dan saat pulang sekolah nanti, rumahku yang sedemikian luasnya pasti sunyi. Seperti biasa.
Saat pulang sekolah, Aku, Lovita, dan Amelia sedang menunggu Tantri yang sedang rapat Osis disekolah. Kami kemudian menunggunya didekat gerbang sekolah. Masih banyak anak-anak disekolah kami yang belum pulang, dan juga, dia, anak perempuan yang sekelas denganku. Yang selalu memberiku tatapan jijik. Ya, bisa kubilang dia anak populer.
“Hei, tanggal berapa sekarang?” tanya Lovita seketika. Amelia mulai mengambil dan menyalakan Handphoneynya.
“Ini…” mulainya. “Ini tanggal 8, kenapa?” Lovita hanya mengangguk, lalu memberi tatapan terima kasih.
“Tak apa. Sebentar lagi adikku ulang tahun, tanggal 16 Agustus.” Saat mendengar kata ‘Ulang tahun’ aku jadi teringat satu hal!
“Ah!” seruku cukup keras. Membuat orang-orang disekitarku memandangku. Tapi aku acuhkan mereka. “Besok hari ulang tahun ayahku.”
“Oh ya?” Seru seseorang dari belakang kami. Seketika kami bertiga mulai memandang siapa dia, itu anak perempuan yang selalu memberikan tatapan jijik padaku.
“Ya.” Ketusku datar. Anak perempuan itu mulai maju beberapa langkah, diikuti 2 temannya dikanan-kiri.
“Bella….” desah Amelia. “Ngapain sih kamu ikut pembicaraan kita!”
“Terserah dia dong. Suka-suka.” Kata salah satu temannya. Memangku lebih jijik dari Bella, nama anak perempuan itu.
“Apa yang mau kau berikan untuk ayahmu dihari Ulang tahunnya?” ucapnya sedikit mengejek. Aku terpaku, Kaget, dan bingung. Apa yang harus kuberikan? Aku saja tak tahu bagaimana aku memberikan hadiahku padanya. Sampai… aku memikirkan sebuah barang.
“umm… sebuah Bunga.” Seruku cukup lantang. Tak disangka-sangka mereka, —Bella dan 2 temannya— tertawa sekeras-kerasnya.
“Apa?! Sebuah bunga? Ga salah? Apakah ayahmu itu Gay?? Haha.” Sergap Bella sambil tertawa lebih keras. Aku merasa dibodohi. Aku merasa dilecehkan. Aku merasa dibully. Saat ini juga, aku merasa aku ingin menangis sekecang-kencangnya. Berteriak diantara sebuah bukit yang tinggi dengan dataran rendahnya yang curam. Meneriaki nama ayahku. Meneriaki nama-Nya. Kenapa harus ayahku yang dipanggil lebih cepat dari yang lain. Aku kecewa. Aku marah. Aku cemburu dengan teman-temanku yang masih bisa tersenyum bersama ayahnya. That should be me!
Tapi aku tau, itu tak mungkin. Jadi, aku kembali kealamsadarku. Menerima kenyataan pahit, bahwa aku sedang dilecehkan oleh 3 anak populer. Air mataku sudah mulai jatuh, membasahi pipiku. Tapi aku masih bisa menyekanya. Aku melihat Bella dan temannya mulai melenggang, menjauhi kami, sambil terus tertawa. Lovita dan Amelia mulai menyuruhku untuk duduk, bersabar, membuatku untuk lebih tenang. Mataku mulai sedikit buram, karena gumpalan air mata yang menumpuk didalam mataku. Berdemo minta untuk keluar dari sini. aku menyeka kembali air mataku, dan langsung berlari menjauhi sekolah.
Bisa kudengar Lovita dan Amelia terus menerus meneriaki namaku, tapi kuhiraukan mereka, aku terus-terusan berlari, menghindari semua orang.

***

Esoknya, Bella dan teman-temannya masih tetap mengejekku. Berbicara bahwa ayahku itu Gay. Amelia mulai risih dengan tawa mereka yang terbahak-bahak. Lovita tetap mencoba menenangkanku dari ejekan mereka.—Tantri sudah tau cerita ini, kemarin saat aku meninggalkan mereka berdua, saat itu pula rapat Osis bubar, dan Tantri melihatku berlari. Lalu dia mulai bertanya kepada Lovita dan Amelia.
“Oh ya, Ulang tahun ayahku ‘kan tanggal 23 september, dan percaya deh, aku gabakalan ngasih ayahku Bunga, duh.” Kata Bella. berusaha membesar-besarkan suaranya supaya aku bisa mendengarnya dengan jelas.
“Okay, aku muak dengan ini.” Geram Amelia. Dia mulai melangkahkan kakinya menuju bangku Bella, walaupun Tantri dan Lovita sudah mencengahnya. Amelia mulai memukul bangku Bella sekeras kerasnya, membuat kelas menjadi hening, semua orang dikelas mulai memandanginya dengan padangan tanya.
“Apa sih? Selow dong. Guru-guru lagi rapat di ruang guru, tau.” Ketus Bella datar. Bisa kulihat dua buah tanduk merah mulai muncul di kepala Amelia, menggambarkan kalau Amelia sangat-sangat marah.
“Dengar. Kau boleh tertawa sepuasnya, sesuka hatimu. Karena itu mulutmu. Tapi yang harus kau ketahui….” Amelia mulai mengontrol nafasnya yang tersedu-sedu. Tantri mulai berjalan menuju Amelia, berusaha menariknya dan menenangkannya. “Ayahnya tak akan pernah memaafkanmu di Surga. Ingat itu, Bella Forteza.”
Semua orang kembali hening. Mereka semua menatapku, menatap tatapan bersalah, Bella membulatkan mata, mungkin matanya hampir keluar. Mulutnya menganga lebar sekali, mungkin cukup untuk bola pingpong masuk kedalamnya. Kini giliranku mendelikan mata, menghiraukan tatapan dari mereka semua.

***

Pulang sekolah, aku tak memperdulikan tatapan-tatapan semua orang saat aku berjalan melewati mereka. Aku terus berlari, menjauhi sekolah. Meninggalkan Lovita, Amelia, dan Tantri. Aku mulai menaikan kendaraan umum yang berbeda dengan kendaraan umum yang biasa kunaiki saat ingin pulang kerumah. Aku ingin memberi hadiah terindah untuk Ayahku.
Turun dari kendaraan umum, aku mulai berjalan kedalam toko bunga. Bunga-bunga indah bermekaran dan harum menyerbak disini. Kulihat kumpulan Mawar putih—bunga kesukaanku— terpampang disana. Kuhampiri Mawar putih itu dan kubeli seikat bunga Mawar putih.
Aku terus berjalan dibawah teriknya matahari. Berharap aku takkan pingsan saat sampai ditempatnya. Sampai akhirnya, kulihat sebuah batu nisan dengan tulisan nama orang yang ingin sekali kujumpai untuk pertama dan terakhir kalinya. Kuhampiri makam ayahku, duduk diantara rerumputan disampingnya, menyimpan bunga Mawar putih ini dimakamnya. Kutatap dalam-dalam batu nisan itu.
“Selamat Ulang Tahun, Ayah.” Seruku. entah mengapa air mataku pun terjatuh. Kubiarkan air mata ini terjatuh tepat di makamnya. Rumah terakhir ayahku. Aku ingin teriak sekencang-kencang andai saja disini tidak ada orang penjaga makam. Aku ingin menangis dalam pelukan ayahku. Aku ingin menatap, memeluk, mencium keningnya untuk pertama dan terakhir. Aku ingin.. aku ingin berbicara dengannya. Aku marah. Kenapa bisa tuhan mengambil ayahku terlebih dahulu disaat umurnya masih tigapuluh tahun. Aku ingin protes, aku ingin marah, aku kecewa. Tapi aku tak bisa berbuat seperti itu. aku terlalu takut. Itu semua mustahil. Yang aku tahu, pasti tuhan akan marah kepadaku.
Hampir satu jam aku terduduk disini. Merenungkan sisa kebahagian yang didapatkan oleh kakakku. Kenapa harus dia yang bisa bersenang-senang bersama ayahku. Aku iri, aku cemburu, aku ingin sepertinya. Aku ingin tertawa bersama ayahku. Aku ingin menangis dalam pelukannya saat dimarahi ibuku. Aku ingin memeluknya saat ia pulang berkerja. Tapi aku tau, itu hanya bisa dirasakan oleh kakakku.
Kembali kealam sadar bawahku, aku mendengar seseorang memanggil namaku. Saat kubalikan badanku, ternyata itu ibu dan kakakku. mereka kemari. Meluangkan waktu sibuknya mereka untuk berziarah kemakam Ayah. Mereka mulai bertanya-tanya untuk apa aku kesini. Sendirian. Tapi mereka pasti mengerti untuk apa aku kesini. Tanpa harus kujelaskan secara panjang lebar.
Kami mulai berdoa dan membersihkan makan ayah. Membersihkannya dari rumput-rumput yang tumbuh disekitarnya. Kemudian membasuh seluruh makam dengan air yang ibuku beli didepan.
Ibuku mulai mengajak kami pulang, mereka tidak perlu tau kalau aku sudah daritadi disini. Jadi aku mengangguk dan melenggang pergi. Saat aku mulai berjalan sejauh 50 meter lebih, seseorang memanggil namaku. Aku agak kaget, kukira hanya orang penjaga makam. Tapi, saat aku lihat siapa dia, Dia.. lelaki dewasa tampan yang sangat kukenali wajahnya. Berdiri disebelah makamnya. Tersenyum bahagia. Dia yang memanggilku, dia melihatku, kemudian dia tersenyum kepadaku. Senyuman bahagia. Senyuman kasih sayang. Senyuman rasa rindu. Ingin rasanya kupeluk dia. Kudekap dia erat-erat. Tapi itu mustahil. Kubalas dengan senyuman yang sama. Senyuman rindu. Dia melambaikan tangannya, kubalas lambaian itu. dia masih menatapku, sambil tersenyum. Tapi saat aku hendak maju, menghampirinya, Ibuku mulai berseru. “Hey, Ayolah. Lain waktu kita kan pasti kesini lagi.” Aku kemudian mengalihkan pandanganku darinya ke Ibuku. Mengangguk, lalu mengalihkannya lagi kepadanya. Tapi.. dia tak ada. Dia sudah mengihilang. Dia sudah tenang.
“Oh, Well, yang penting aku sudah tahu kalau dia bahagia disana. Menatapku dari atas.” Seruku berbisik. Dan senyum penuh kebanggaan mulai mengembang dipipiku.berharap kalau hari itu, akan datang lagi.