Tuesday, January 22, 2013

Satu Pertanyaan Untuk Tuhan


Baru kali ini aku bertanya. Sebenarnya Tuhan ada di mana? Rumah-rumah berubah jadi puing, pohon-pohon tumbang, dan sisanya tinggal tangisan yang tidak berhenti terdengar. Kalau Tuhan ada, kenapa aku masih duduk sendiri di sini. Kotor dan bau. Kalau Tuhan masih ada, kenapa Dia tidak menolong aku?

            Di antara jerit tangis yang berderai, aku membenamkan wajahku. Tidak tahu harus bagaimana. Ayah sedang di luar kota ketika ini terjadi. Ibu bahkan belum terlihat sejak air itu menghancurkan semuanya. Semoga Tuhan masih ada dan membrikan kesajaiban.

            Ibu dan Ayahku.
***

Waktu berjalan lambat sekali pun orang-orang silih berganti lewat di hadapanku. Ada yang peduli, ada yang tidak. Sebenarnya aku sendiri tidak mengerti dengan apa yang terjadi sekarang. Kata orang-orang, tanggul di dekat rumahku jebol. Sesimpel itu. Dulu-dulu kejadian tanggul jebol juga sering terjadi. Belakangan aku baru mengerti kalau kejadian yang dulu bukannya tanggul jebol, melainkan tanggul bocor. Karena, kejadian tanggul jebol harusnya memiliki efek seperti ini, mengancurkan semuanya. Hidupku, senyumku, juga harapanku.

            Lalu Tuhan di mana sekarang?

            Seingatku, aku anak yang baik. Tidak pernah melakukan dosa yang tidak termaafkan. Tidak lupa shalat, nurut sama Ayah, Ibu, rajin sekolah. Semua seperti baik-baik saja. Apa yang salah dariku?

            Lamunanku buyar ketika melihat ibu berjalan di kejauhan. Terima kasih, Tuhan. Ibu selamat dari musibah sialan ini.

            "Bu...!ibu!" Aku berlari lincah menuju ibu. Hilang sudah seluruh rasa lelah dan perih yang tadi terasa. Perempuan itu menegok lemah begitu aku mnyentuhnya.

            Bukan Ibu.

Aku meminta maaf dengan kikuk pada perempuan separuh baya itu. Sepertinya dia lebih terpukul daripada aku. Ya, ternyata Tuhan jahat. Kenapa Dia tidak menghukum orang yang tukang mabuk? Yang pernah membunuh, yang korupsi, yang tidak pernah shalat? Kenapa aku tidak mati saja sekalian. Karena, sejak apa yang kulihat pagi ini, rasa takutku pada mati sudah tidak ada lagi. Aku tahu rasanya hidup yang tinggal sejengkal. Sejenak aku teringat kejadian sebelum air tanggul menyerobot rumahku.
***

Malam hari sebelum kejadian
            "Ibu kan sudah bilang. Kamu masuk jurusan akuntansi saja. Kok ya kamu pakai ngotot segala mau jadi pramugari? Mau jadi apa? Nyari kerjaan kok yang aneh-aneh." Ibu mengomel sambil tetap mencuci piring yang bertumpuk. Aku hanya bisa diam sambil menekuk muka. Ayah dan Ibu sama saja jalan pikirannya, kokamut! Kenapa sih, jadi pramugari mesti dikonotasikan negatif?

"Ibu tuh enggak ngerti. Jadi pramugari tuh enak...Keren." Aku menaikkan sedikit nada bicaraku. Capek berkali-kali berdebat tentang topik ini. Kenapa ibu tidak mau mengerti keinginan aku, sih?

            "Keren? Kamu mau kerennya saja? Cita-cita kamu enggak bisa lebih wajar lagi apa?" Ibu balas menjawab kata-kataku dengan nada yang lebih tinggi. Aku benar-benar bosan bertengkar karena masalah ini. Dengan kasar aku berbalik meninggalkan Ibu.

            "Ibu belum selesai bicara, Bilqis!"

            "Sudahlah, Bu. Bilqis capek. Terserah Ibu lah aku jadi apa. Bilqis enggak peduli." Aku berteriak kesal.

            "PRAAAAANNNNGG..." Rasa-rasanya piring yang ibu cuci jatuh. Tapi aku tidak peduli. Bersamaan dengan suara yang memekakan telinga itu, aku berlari keluar rumah.
***

            Aku baru ingat kejadian itu. Dengan getir aku tertawa pelan, tentu saja aku Cuma manusia biasa. Sangat hafal dengan semua kelakuan baikku, tapi gampang lupa dengan dosa yang sangat besar. Tapi aku tidak pernah menyangka kalau kesalahan itu harus dibayar dengan cara seperti ini. Aku bahkan belum minta maaf pada ibu. Aku bahkan belum sempat melihat wajahnya lagi.

"BILQIISSS! Sebuah suara terdengar nyaring. Dengan lesu aku menoleh pada suara yang mengusikku. Di sana terlihat Kana berlari menghampiriku. Sepertinya dia tidak menderita sepertiku. Bukti kalau Tuhan tidak adil.

            "Akhirnya aku nemuin teman yang aku kenal." Kana berbicara dengan nada bagahia bercampur lega. Aku melengos tak acuh mendengar kata-katanya.

            "Ngapain nyariin teman yang kamu kenal di sini? Paling sudah mati semua," aku menjawab sinis.

            Qis...Teman-teman di sekolah khawatir sama semua teman yang rumahnya ada di sekitar tanggul ini. "Kana menatapku sedih. Ia mencoba untuk berempati dengan kejadian yang menimpaku. Dan bagiku usahanya itu gagal. Tidak aka nada seorang pun yang mengerti perasaanku. Tidak aka nada yang tahu rasanya.

"Rasa khawatir kalian enggak bakal bikin luka-luka aku sembuh. Kata-kata, 'aku ikut sedih' dari kalian enggak bakal bikin Ibu aku balik lagi!" Aku memekik kesal. Tiba-tiba air mataku merebak. Perutku lapar sekali. Aku haus, dan luka baret sekaligus memarku terasa berdenyut-denyut.

            "Semuanya memang enggak bisa balik lagi. Tapi setidaknya kamu masih hidup sekarang." Kana berusaha mendekatiku. Yang benar saj. Aku bau dan lengket sekarang.

            "Aku tetap hidup, Kan." Aku menyela kata-katanya dengan kasar.

            "Aku tetap hidup karena aku enggak mati di musibah sialan itu!" lanjutku geram. Anehnya air mataku tetap turun meskipun kemarahan tidak bisa lagi dikendalikan. Aku lupa yang mana rasanya sedih, dan yang mana rasanya marah.

            "Ini kenyataan yang mesti kamu terima, Qis..." suara Kana terdengar rendah. Memberikan penekanan pada tiap kalimatnya.

            "Kenyataan apa yang kamu maksud, hah? Kenyataan apa? Kalau rumah aku sekarang rata sama tanah, buku-buku aku, seragam aku, HP aku, ORANGTUA AKU, hilang semua! Dan sekarang kamu datang dengan baju bersih dan baik-baik saja."

            "Apa yang kamu tahu dari kenyataan ini? Yang mana kenyataan yang kamu maksud, hah?"

            "Bilqis! Jangan bicara kayak gitu. Harusnya kamu bersyukur bisa selamat dari musibah ini. Mungkin saja Ibu kamu selamat. Kan belum dicari..." kini Kana berhasil menggapai tanganku. Aku meringis pelan saat Kana tak sengaja menyentuh lukaku. Kana yang begitu wangi dan bersih ini tidak kehilangan apa pun.

            Aku?
            Aku kehilangan semuanya.
            Tuhan tidak adil.
            Tuhan tidak ada.

            "Gimana bisa bersyukur kalau rumah aku hancur?"

            "Gimana bisa beryukur kalau aku sekarang kesakitan dan hampir mati. Dan gimana aku bisa bersyukur kalau Ibu aku meninggal? Kamu enggak tahu rasanya hampir mati kayak aku! Kamu enggak tahu rasanya ada di tempat ini! Dan jangan seekali-kali bilang kamu tahu rasanya." Aku berteriak kasar pada Kana. Benci sekali dengan air mata yang dari tadi tidak bisa berhenti keluar.

            Di sana, orang masih saja ramai. Mayat bergelimpangan dan rumah sudah rata dengan tanah. Ada yang menangis sendirian, ada yang mencoba tabah. Air bekas jebolan tanggul masih setinggi lutut. Warnanya keruh dan memuakkan. Orang-orang berbondong-bondong mengungsi ke tempat aman. Sejujurnya aku tidak peduli lagi dengan keselamatanku.

            "Masih banyak yang bisa kamu syukurin, Qis. Percaya sama aku. Kamu saja yang belum sadar." Akhirnya Kana menjawab lirih. Samar-samar aku melihat mata Kana memrah. Air matanya jatuh melihatku menangis sesegukan.

            Apa salahku?

            Kalau Tuhan memang ada, kesalahan apa yang aku lakukan sampai harus mengalami ini.
***

Dua bulan sebelumnya
            Panti asuhan 'Kasih Sayang' ramai oleh teman-teman sekelasku. Kami secara khusus datang ke sini untuk memberikan bantuan. Ide ini datang dari teman-temanku yang sangat ingin berbagi dengan sesama. Aku sih ikut-ikut saja dengan ide itu. Kegiatan ini kan baik juga.

            "Lihat anak-anak dip anti asuhan ini membuat aku merasa bersyukur," Kana mengguman pelan di sampingku. Aku hanya mengangguk sekenanya. Bagiku ini bukan masalah bersyukur atau tidak bersyukur. Anak-anak itu jadi yatim piatu karena garis takdir yang telah digariskan Tuhan pada mereka. Bukannya aku tidak bersyukur, aku kan hanya mencoba berpikir dengan logika.

            "Mereka yang harusnya  bersyukur, Kan. Enggak ada angin enggak ada hujan dapat sumbangan dari kita, aku menjawab sekenanya.
***

            Mungkin aku lupa bersyukur. Atau mungkin masih ada kesalahan lain yang luput dari penglihatanku yang terbatas. Mungkin Tuhan masih ada. Hanya saja aku yang tidak mau mencarinya. Mungkin ada alasan tertentu dari-Nya sehingga aku diberi kesempatan untuk selamat dari musibah ini. Mungkin masih ada banyak alasan untuk tetap hidup.

            "Kita masih akan lulus ujian, masih akan masuk kuliah, masih akan kerja...Masih banyak alasan yang bisa kamu syukuri kalau kamu tetap hidup sekarang." Lagi-lagi Kana mnghiburku. Kali ini aku tidak bereaksi apa-apa. Terlalu lelah untuk berbicara. Mungkin Tuhan tidak selalu memberikan apa yang kita mau, tapi pasti yang terbaik untuk kita.

            "BILQIIISSS...!KANAAA!" Beberapa suara terdengar dari kejauhan. Teman-tmanku yang lain berlari menghampiri kami. Mereka semua terlihat sama kotornya dengan aku. Bedanya mereka tidak mengalami luka-luka dan tidak hampa sepertiku.

            Pasti mereka ikut membantu warga di sekitar sini.

            "Bilqis, ternyata kamu di sini! Tadi kita ketemu sama ibu kamu. Dia berkali-kali nanyain kamu. Tapi kan tadi kita belum ketemu sama kamu. Dia khawatir banget kayaknya. Nangis enggak berhenti-berhenti..." Mika berbicara dengan semangat 45 walaupun keringatnya berjatuhan.

            Aku menatap Mika tak percaya.

            Ibu...selamat?

            "Sekarang ibu kamu lagi istirahat di posko pengungsian dekat sini. Mau aku anterin?" Giliran Rizky yang menambahkan berita tentang keberadaan Ibu.

            "Kayaknya ayah Bilqis juga ada di sana, deh, sama ibunya Bilqis." Tinka yang berbadan mungil menimpali kata-kata Rizky.

            Orang tuaku...selamat?
            Mungkin Tuhan masih ada.
            Tuhan selalu ada.

-----------------------------

Oleh: Nike Nadia (from kaWanku Magazine)