Tuesday, January 22, 2013

Indigo


Gelap. Hitam. Tak ada setitik sinar yang dapat aku lihat. Ya Tuhan, aku ingin menangis. Ada apa denganku? Di mana aku? Mengapa ini terjadi? Aku mebelalakkan mataku selebar mungkin. Selebar-lebarnya, sebesar-besarnya. Tapi tetap saja, sinar itu tak kunjung datang. Masih gelap. Hitam. Dan akhirnya aku tahu, aku kini bukan aku yang satu jam yang lalu. Aku kini berbeda. Aku buta.
            Terdengar bisikan di sebelah kiriku.
            "Salsa, kamu sudah bangun, Nak?" Aku tahu, itu suara Mama. Aku balas sapaannya," Mama? Mama. Salsa..Salsa..gelap Ma, gelap.." aku hanya bisa berkata seperti itu. Begitu banyak pikiran dan pertanyaan berdesakkan memenuhi otakku. Aku tak tahu mana dulu yang harus aku ungkapkan.
            "Sayang, katakana pada Mama ada apa? Apa yang terjadi, Nak?" tanya Mama. Aku rasakan dan aku dngar, Mama kini mulai khawatir dan kebingungan. Aku mulai menjawab dan aku mulai menangis, aku tak kuasa menahan batu berat yang sedari tadi menikam jantungku.
            "A, aku...aku...aku enggak tahu, Ma. Aku enggak bisa lihat apa-apa, hitam, Ma. Glap. Aku buta , aku buta.." teriakku sambil menangis tersedu-sedu. Tak tahu kenapa, hatiku begitu sakit. Tapi sedikit tersirat di palung hatiku yang terdalam, aku bahagia.
***
Aku. Salsabila Betana. Aku adalah seorang indigo. Kamu tahu indigo itu apa? Huh. Aku yakin, tak ada satu manusia di pelosok dunia mana pun yang mau menjadi seorang indigo. Aku dilahirkan dengan dua buah mata yang indah. Ya, mataku cokelat indah. Banyak orang yang bilang aku begitu beruntung dengan mata indahku ini. Hah. Omong kosong. Orang lain tak pernah merasakan betapa tersiksanya aku dengan indra penglihatanku ini. Kamu tahu apa? Aku begitu tersiksa dengan segala sesuatu yang dapat aku lihat di sepanjang hidupku ini. Sesuatu yang ketika kamu melihatnya, kamu akan mencoba untuk mencongkel matamu agar kamu tak perlu melihat sesuatu yang keteika kamu melihatnya, membuat kamu tahu yang lain. Membuat kamu gila. Membuat kamu ingin mati. Mengetahui kehidupan di dunia selain dunia manusia. Aku bisa melihat pula. Aku bisa melihat kematian seseorang. Aku seorang yang tak pernah mengrti apa itu arti hidup dengan semua yang ada.
            Kali pertama. Saat umurku masih genap empat tahun yang indah, yang dipenuhi bermilyar-milyar bintang, aku mengucek mata karena ngantuk. Sudah setengah jam lamanya di atas sofa empuk sambil menonton TV dan mengunyah roti tak habis-habis. Semua keluarga sedang berkumpul di ruang keluarga dan bercengkrama riang penuh dengan tawa. Mama, duduk dekat Papa sambil bercanda menggoda Kak Alfa yang katanya, saat itu sudah punya pacar. Sungguh suasana yang sangat mengasyikan. Namun, tiba-tiba...
Jantungku berdetak begitu keras ketika...aku tak tahu apa itu. Bayangan, atau memang sebuah wujud, hitam, besar, menghalangi pandanganku. Ia berdiri di depanku. Saat itu aku hanya bisa melihat kakinya yang begitu besar, yang hitam legam. Aku angkat kepalaku sampai menengadah. Ya Tuhan... makhluk ciptaanmu itu sungguh besar sekali. Aku lihat, ia berdiri di depanku menembus atap rumahku. Ia tinggi sekali, aku tak bisa jelas melihat wajahnya yang mungkin, sejajar dengan ujung tiang listrik.
            Detik itu, tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Aku membatu sambil menggenggam roti, menengadah, membelalakkan mata dan menganga. Badanku sedikit bergetar. Aku begitu ketakutan. Makhluk itu tak kunjung pergi. Ia sebenarnya mau apa? Aku menangis. Hanya mengeluarkan air mata dengan ekspresi dan posisi tubuh tetap membatu. Saking takutnya, aku hampir tidak bisa bernafas.
Aku merasakannya. Mama dan Kak Alfa mengguncang-guncangkan bahuku keras-keras. Percuma. Tak membuatku bergrak sedikit pun. Masih menggenggam roti, menengadah, membelalakkan mata, dan menganga. Aku dengar, Mama menangis. Papa bolak-balik bingung, tak tahu harus melakukan apa. Kak Alfa berdoa, mulutnya komat-kamit tak karuan. Aku, masih memandang makhluk besar hitam dihadapanku dan terus mengalirkan air mata.
            Tiba-tiba, makhluk itu bergerak, bergerak maju, mendekatiku. Semakin aku membatu, hanya jantungku saja yang bergerak, berdetak begitu kencang. Dan..ia, makhluk itu menembus tubuhku. Membuatku harus terloncat jatuh ke pelukan Mama. Makhluk itu pergi, ia tiba-tiba menghilang. Tak tahu kemana. Aku sadar kembali. Aku bisa bernapas lega kembali, walau agak ngos-ngosan. Dan sejak saat itu, aku tahu, aku bisa hidup di dunia selain dunia manusia. Setelah Papa memanggil seorang paranormal hebat, aku semakin yakin, aku adalah seorang indigo.
***
            Pernah saat itu, aku tak tahu harus menyebut pengalaman apa ini. Seram atau lucu. Dulu, kira-kira lima tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di bangku kelas dua SMA. Aku dan teman-temanku mengadakan tamasya ke pantai Losari, Makassar. Di sana, aku menginap di sebuah villa bergerbang tinggi. Villanya begitu besar dan megah. Murid-murid tidur di lantai dua, sedangkan guru-guru tidur di lantai satu.
Tiba-tiba ketika bulan menampakkan utuh wujudnya. Bulat. Putih. Tengah malam Senin itu jauh lebih menyeramkan dari malam-malam yang pernah aku lalui sebelumnya. Di sisiku tidak ada Mama, Papa atau pun Kak Alfa. Aku, hanya teman-teman sebayaku saja, yang tak bisa seutuhnya melindungiku. Aku tidur di atas ranjang kecil di sisi sebuah jendela yang langsung memaparkan keindahan pemandangan pantai Losari. Udara malam itu begitu dingin. Sedingin selimut tipis yang kini membalut tubuhku. Perlahan-lahan aku pejamkan mataku. Tak membutuhkan waktu yang lama, aku tertidur. Pulas. Begitu lelap.
            Aku bermimpi, aku sedang ada di sebuah pemakaman. Semua orang menjerit-jerit dan menangis begitu oilu. Ada seseorang yang meninggal. Aku tak kenal siapa orang itu. Aku berdiri di belakang seorang bapak botak berkaca mata. Aku menyelinap, dan aku berhasil membuatnya berada di belakangku. Ternyata bapak botak itu berdiri paling depan, di depan nisan. Saat itu aku baru bisa membaca nama orang yang meninggal itu. Namanya...kurang jelas. Namun aku bisa lihat tahun kelahirannya, 1986. Aku masih bingung, mimpi apa aku ini. Sempat, aku menengok ke jasad yang telah dikafani dan telah dijatuhkan ke tanah itu, mayatnya seorang wanita. Cantik.
            Tiba-tiba gelap, episode di mimpiku itu telah berakhir. Aku terbangun, tapi masih menutup mata. Aku tersentak. Hah. Aku bilang saat itu, "Hanya mimpi," dan aku menarik napas dalam-dalam dan kembali menghembuskannya. Perlahan-lahan aku buka kelopak mataku, aku ganti posisi tidurku yang tadinya menghadap ke depan, menjadi ke kiri, ke arah jendela. Dan, ketika aku membuka mataku,
            "Aaaaaaarrrrrgggghhhhh!!!" jeritanku membangunkan seluruh penghuni kamar. Aku melihat seorang wanita tersenyum di balik jendela. Wanita itu melayang dengan mengenakan baju putih gombrang compang-camping, dengan  rambut acak-acakan, hitam dan panjang. Wajahnya bersimbah darah. Ia tersenyum padaku, namun ia kembali melayang pergi, sambil tertawa cekikian. Tawanya begitu menyeramkan, membuatku jadi bergidik. Ia pergi sambil melambaikan tangannya padaku. Hah. Lucu.
            Dua hari setelah kejadian itu, aku menonton TV di rumah ketika aku baru saja pulang dari tamasyaku. Aku memutar-mutar channel tak henti. Aku cari siaran yang menarik dan sampailah di berita criminal. Aku lihat di sana, ada berita telah dibunuhnya seorang gadis kelahiran tahun 1986. Disiarkan pemakaman gadis itu. Kameramen berada di belakang seorang bapak botak berkaca mata, kamera menyelinap ke depannya, dan mulai men-shoot nisan. Nama si korban pembunuhan tidak terlihat jelas, hanya tahun kelahirannya yang bisa tergambarkan, 1986. Kamera kembali menyoroti si jenazah. Jenazah seorang wanita. Cantik.
            Ya. Itu kelebihanku. Aku nisa melihat masa depan, aku bisa melihat kematian seseorang. Si kuntilanak, yang menampakkan wujudnya di depan jendela kamar villa yang aku inapi, adalah roh gadis yang meninggal itu. Ia meminta bantuan padaku. Namun apa daya, aku tak bisa lakukan apa-apa.
***
            Sebelah mata yang melayang, kaki yang berjalan di atas tangga, tangan buntung yang meraba-raba, kepala yang tergantung, bayangan di kaca, kuntilanak, pocong, genderewo, hah, capek. Semua itu adalah teman-temanku. Melihat kematian kakekku, si A, si B, si C. Semua itu adalah kebiasaanku. Setiap hari pasti aku melihat satu penampakkan, lumayan, aku lumayan terbiasa, walau aku masih tidak bisa menghilangkan rasa takutku. Wajar kan? Wajar kan aku takut? Ya, siapa sih orang yang tidak takut jika setiap harinya ia harus berkomunikasi dan hidup di dunia yang bukan dunianya, hidup di dunia gaib.
            Tapi, kini aku brsyukur. Tuhan mendengar doaku. Setiap hari, ketika aku telah melihat sesuatu, aku selalu meminta kepada Tuhan.
            Tuhan, apa ini jalan hidupku? Hidup di tengah-tengah kehidupan dua alam? Hidup di kehidupan nyata dan maya? Hidup di tengah-tengah kaki yang berjalan sendiri, hidung yang melayang, kepala tanpa wajah? Tolong Ya Tuhan, aku ingin semua ini berakhir dengan cepat. Aku ingin hidup normal. Aku ingin seperti orang biasa yang hidup tenang. Apa manfaatnya aku seperti ini? Tolong Ya Tuhan, tolong ambil mataku, agar aku tak melihat semua yang aku lihat saat ini. Tolong, aku ingin kau ambil mataku saja, Ya Tuhan!
               Mungkin, kini Tuhan sedang mengabulkan semua doaku. Ya, aku buta. Aku kini tak akan pernah melihat lagi makhluk-makhluk menyeramkan itu. aku kini tak akan pernah melihat lagi pertanda kematian orang lain. Aku kini akan hidup tenang, damai, walau hanya hitam yang menghiasi hari-hariku.
***
            Kemarin
            Di lalu lalang kota Jakarta yang begitu ramai. Aku sendirian mengendarai sepeda motor bututku. Map-map tebal aku simpan di tas yang terdiam rapi di punggungku. Map-map itu adalah map lamaran kerjaku. Kini aku harus segera mendapatkan pekerjaan. Umurku sudah 22 tahun. Sarjana sudah menjadi gelar baruku. Malu jika aku masih saja duduk nganggur di rumah dengan hanya mengandalkan gaji Papa.
            Di jalan, aku kencangkan ikat kucirku, aku rapikan kaos oblong merah gombrang dan aku ikat tali sepatu. Aku sudah siap dengan hari ini. Ketika aku sedang ngebut mencari lokasi tempat aku harus melamar, hmmm, tiba-tiba sebuah tangan mengelus pipiku. Tangan itu berasal dari makhluk yang kini duduk di belakangku. Anak kecil. Ya, anak kecil perempuan kurus pucat. Dia berkata padaku, "Kak, kakak tolong anterin saya ke sekolah, ya! Ibu saya jahat Kak, ibu saya enggak mau nganterin saya ke sekolah. Anterin saya Kak!" anak itu berbisik begitu lembut di telingaku. Aku kaget. Aku hilang kendali.
            Kemarin, adalah hari yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Hari yang menjadi hari akhir aku hidup sebagai seorang indigo.
            Aku banting stir motor ke kiri. Salah, motor menabrak trotoar dan sebuah gerobak sampah. Aku terlempar dari motor, aku sempat melayang beberapa detik, kepalaku menabrak sebuah tiang, aku jatuh, aku tumbang. Dan terakhir, sebuah batu yang ukurannya tidak begitu besar dan tidak terlalu kecil, tak tahu darimana asalnya, jatuh, menimpaku, pas, membentur mataku.
            Itulah, kejadian kemarin. Kejadian yang membawaku ke rumah sakit ini. Kejadian yang membawaku ke akhir penderitaanku. Aku kini buta. Tak ada lagi hantu-hantu dan penampakkan yang bisa aku lihat. Walau hanya hitam, tapi kini kedamaian sudah aku miliki. Tapi tunggu, aku mendengar sesuatu.
            "Kakak, ini aku kak...Kakak kenapa enggak nganterin aku ke sekolah? aku di sini Kak, di sebelah Kakak. Kalau Kakak tetap tidak mau mengantarku, aku akan tetap di sini bersama Kakak," bisik seorang anak kecil. Diam. Aku terdiam. Aku menelan ludah. Aku tak bisa melihatnya. Tapi, aku masih bisa mendengar, merasakannya. Semua itu. mimpi buruk itu, ternyata belum sepenuhnya terlepas dan binasa dariku. Aku. Apa aku masih bisa dibilang seorang indigo?
            "Aaaaarrrggghhh!" aku menjerit sejadi-jadinya.
***


Oleh: Aldilani Disa W (from kaWanku Magazine)