Tuesday, January 22, 2013

Jantung


Lauri: Beberapa hari lagi aku dioperasi. Penyakitku adalah central kehidupanku kala darah yang berisi oksigen yang berguna untuk member makan sel-selku dipompa. Jantung. Tak tahu aku seberapa parah tapi ibu selalu membujukku untuk secepatnya dioperasi. Ibu tak mau penyakit ini merenggut nyawaku setelah dahulu sukses menghabisi napas Ayah.  
            Aku begitu pasrah sampai bayang menakutkan dari kematian tak lagi mengusikku. Aku tahu hanya Kuasa Tuhan yang bisa mencabut nyawaku bukan penyakitku. Semua orang bisa mati di mana saja dan kapan saja tanpa harus mengidap penyakitku. Terlalu banyak tempat berbahaya di dunia ini. Malahan mungkin aku mati bukan karena sakit.
***
             "Bi anterin aku ke suatu tempat dong!"
            Abi menaruh sendok yang ia gunakan untuk menyuapi gadis yang ada di depannya.
            "Iya entar abis operasi."
            "BUUKAAAN aku maunya besok.,"
            "Ya enggak bisa lah. Kamu belum sembuh, bisa dibunuh aku sama Mama kamu dan dokter."
            "Mereka enggak perlu tahu," desak Lauri lagi.
            "Enggak! Pokoknya enggak. Jangan pernah punya pikiran gila kayak gitu."
            Akhirnya keduanya diam tetap pada pendirian masing-masing. Sampai Lauri menyentuh tangan Abi lalu dengan pelan tapi pasti dia berkata.
            "Bi, banyak orang mati di luar sana yang terkaget-kaget dengan kematiannya sendiri yang datang terlalu tiba-tiba, pasti pengin punya satu hari lagi hanya untuk ketemu atau datengin satu tempat yang belum sempat mereka datengin. Aku enggak mau jadi salah satu dari komunitas itu, Bi."
            Abi diam tak menjawab. Perasaannya gamang, dalam hati dia marah karena lagi-lagi Lauri harus membuatnya memilih sesuatu yang tak ingin ia pilih.
***
             Abi: Aku mengimani benar peribahasa tak ada gading yang tak retak. Aku yang terlahir hampir selalu beruntung dengan materi berlimpah, wajah tampan, kepandaian di atas rata-rata, bakat olahraga luar biasa tapi untuk bisa bahagia saja aku harus menggantungkan pada seorang gadis yang bahkan untuk bernapas saja harus penuh perjuangan, yang tidak cantik, yang biasa-biasa saja.
            Dan setiap malam aku harus terus merasa gugup memikirkan apakah jantungnya masih berdetak besok pagi saat aku bertemu dengannya. Aku takut jantungku pun bisa berhenti saat melihat raganya terbujur tanpa jiwa yang terisi.
            Memang setiap orang punya kesialannya masing-masing.
***
            "Enggak untuk halilintar, kora-kora, bianglala atau permainan lain yang terlalu keras."
            "Terus aku disuruh main apa?"
            "Karuselm "Jawab Abi.
            "Masak karusel doing. Sudah dua kali. Boseeeen," kluh gadis putih itu lagi.
            "Ya sudah pulang saja kalau gitu," ajak Abi
            "Pulang? Aku sudah lima tahun enggak pernah ke sini. Sekalinya bisa ke Dunia Fantasi cuma naik karusel! Abiii!" Abi diam coba tak dengarkan rengekan itu.
            "Bi, poci-poci deh,"
            "Enggak!"
            "Kalau pontang-panting?"
            "ENGGAK! Ngerti enggak sih? ENGGAK! Tahu nggak sih kamu dari rumah nyelundupin kamu diam-diam sampai sini sudah berapa kali aku pengin pingsan takut kamu kenapa-kenapa. Bisa-bisa aku juga ikut dioperasi."
            Lauri terdiam kaget. Muka Abi memang lebih pucat karena khawatir keringatnyapun membanjir di keningnya. Lauri tak pernah menyadari betapa tersiksanya Abi membawa dirinya ke Dunia Fantasi ini.
            Lembut dia sentuh tangan Abi.
            "Ya sudah, kalau gitu kita duduk-duduk saja did pan situ. Dekat kora-kora, kita lihat orang lain main saja. Biar 50 ribunya enggak hilang-hilang amat."
            Saat duduk Lauri menyenderkan kepalanya di bahu Abi. Melihat kegembiraan orang lain yang tak tergapai untuknya. Mungkin ada sesuatu yang tak Lauri sadari telah ia dapatkan dan itu merupakan bayaran atas apa yang terlepas darinya. Mungkin itu tmpat ia menyandarkan kepalanya sekarang. Seorang Abi.
***
            Lauri: Manusia memang tak pernah puas, Begitupula aku, pergi ke Dunia Fantasi tadi siang tak kurasa cukup tapi malahan membuatku ingin mendapat lebih. Walau waktu pulang Mama sudah marah luar biasa sambil memaki aku dan Abi yang hanya bisa tertunduk penuh penyesalan. Aku tetap memohon untuk bisa pergi esok. Sudah kupasang wajah memelas tapi Mama bertambah emosi. Mama tetap melarang tapi beliau tahu benar aku akan tetap pergi. Maka ia siapkan semua peralatanku.
            Pagi harinya makanan, minuman khusus, kursi roda sudah tersedia Aku bisa melihat betapa tertekannya muka Mama dan juga Abi. Semoga saja aku tak membuat mereka berdua berpenyakit jantung sama sepertiku.
***
            TAMAN SAFARI. Lauri ingin datang ke sana. Kebun binatang di puncak itu, entah kenapa. Berulang kali bertanya berulang kali juga Abi tak mendapat jawaban.           
            "Ngapain sih ke sini?" ulang Abi lagi pantang menyerah. Lauri bukan orang yang suka binatang malah antipati terhadap makhluk-makhluk itu, jadi aneh kalau Kebun Binatang menjadi tujuan yang begitu ia perjuangankan.
            "Silaturahmi," jawab Lauri akhirnya
            "Silaturahmi sama siapa?"
            "Sama leluhurlah! Mbah-mbah monyet yang harus teerkurung di kandang sementara kita cucu-cucu keturunannya, lepas bebas. Kita harus minta maaf, Bi."
            Lauri menunduk di depan kurungan monyet. Terlihat seperti orang yang khusyuk berdoa. Abi tersenyum melihat kekonyolan gadis itu.
            "Kamu aneh banget sih! Aku sih enggak percaya dibohongin sama Darwin. Aku enggak mau dibilangin keturunan monyet."
            "Ya iya lah. Cowok kan bukan keturunan monyet tapi keturunan buaya semua."
            "Ya...cwek kan emang sukanya dibuayain. Yang pnting dapet gratisan, "balas Abi.
            "Eh, jangan kurang ajar. Enggak semua cewek kaya bgitu."
            "Sama! Aku juga enggak terima disama-samain."
            Abi pun membalas dengan muka ditekuk. Suasana jadi beku tapi kemudian mereka tertawa, menertawakan bodohnya ucapan mereka. Lalu Lauri diam. Menatap serius wajah Abi yang masih tertawa.
            "Bi," Abi diam tiba-tiba menelan tawanya saat dia sadar ada yang tidak beres.
            "Ya"
            "Aku minta maaf, sudah bohong sama kamu."
            "Bohong?" tanya Abi lagi.
            "Bi, sebenarnya Dufan itu tempat Ryan nembak aku. Taman Safari ini tempat aku dan dia ngerayain hari jadian kita yang ketiga. Karena itu aku pengin kembali ke dua tempat tadi."
            Abi tertunduk menahan marah, luka, kepdihan, sakit hati...
            "Bi aku kira setelah aku ke sini aku akan bisa melupakan Ryan yang sudah mutusin aku. Tapi ternyata aku merasa harus ketemu dia."
            "Bi, maaf karena aku harus memohon lagi ke kamu supaya kamu mau nganterin aku ketemu Ryan."
            "Abi pantang menangis. Menangis itu mengkhianati kemaskulinannya. Tapi pelupuknya sudah terlalu lelah untuk menahan genangan air mata itu.
***
            Abi: Aku pernah mendengar cerita tntang Lady Diana yang marah-marah kepada Camila Parker-Bowles karena ada di antara dia dan pangeran Charles. Lalu Camila bertanya apalagi yang diinginkan Lady Di sementara dia sudah dicintai banyak orang dan memiliki banyak hal. Lady Di menjawab dia hanya ingin suaminya.
            Aku tersentuh ternyata seorang Lady Di yang begitu baik tak bisa memiliki satu hal yang paling hakiki dalam satu perkawinan. Sebuah cinta.
            Itulah aku, hidupku adalah skala kecil hidup Lady Di. Semua hal bisa kudapat, banyak wanita berkata suka padaku. Tapi untuk mendapatkan cinta seorang gadis yang biasa-biasa saja, aku tidak bisa. Memang tak ada manusia yang bisa memiliki semua hal yang ia inginkan.
***
            Ternyata Ryan yang seorang petualang itu, yang memutuskan hubungan dengan Lauri karena begitu memuja alam dan kebebasan akan pergi ke luar kota. Akhirnya Abi dan Lauri harus cepat-cepat ke stasiun. Abi bergegas mencari Ryan sambil mendorong kursi roda yang diduduki Lauri. Akhirnya mereka temukan si gondrong itu dengan tas punggung besar di pundaknya.
            "Ri? Ngapain kamu?"
            "Ryan...Mau ke mana? Jangan pergi! Aku mau operasi, gimana kalau aku knapa-kenapa. Jangan pergi!" pinta Lauri lirih.
            Ryan terlihat bingung, tak sanggup berkata-kata. Sejenak dia melihat Abi yang pasi dan tertekan hebat.
            "Lauri, kamu berhak untuk dapat pria yang lebih baik yang enggak egois kayak aku. Kamu cukup membuka hati dan menoleh sedikit."
            Ryan pergi. Lauri menangis. Dan Abi bingung mau berlaku apa.
***
            Lauri: Dicintai itu indah. Apalagi oleh orang sebaik Abi. Aku beruntung tapi di saat aku terus dibanjiri cinta sementara hanya bisa memberi luka, keberuntungan itu akan sirna dengan sendirinya. Itulah yang membuatku ingin melupakan Ryan. Aku ada di posisi Abi dan Ryan sekaligus. Di pihak yang mencintai sebelah tangan dan dicintai tapi tak bisa membalas.
            Lewat Abi aku tahu perasaan Ryan. Tak enak dicintai orang yang tak kita cintai, terlalu lama. Sama saja memberi beban. Lewat Ryan aku tahu perasaan Abi. Tak enak mencintai orang yang tidak balik mencintai. Karena aku berusaha kembali membuka hati. Ini janjiku pada Ryan dan Abi saat aku sembuh nanti.
            "Sudah siap?" Lauri terlihat pasrah menjawab pertanyaan suster dengan anggukan kecil. Walau dia tidak siap membiarkan tubuhnya dibuka dan diotak-atik oleh manusia lain. Tapi apa boleh buat ini alternative terakhir.
            Sebelum masuk ruang operasi. Lauri memandang kembali lekat-lekat wajah Mama dan Abi. Kalau-kalau tak bisa lagi ia pandang dua wajah yang amat berharga itu.
***
            Abi: Aku menemaninya semalam suntuk sampai lampu di depan ruang operasi padam artinya operasi selesai. Aku tak sanggup bertanya aku takut kenyataan berlaku kejam pada harapanku.
            "Kamu harus baik-baikin aku kalau sudah sembuh. Harus kasih upah nyuapin nih," ledek Abi sembari menyuapi Lauri.
            "Iya, aku tahu kok sering bikin kamu sedih. Enggak bakal keulang lagi."
            Abi menatap muak serius Lauri, tak disangka lawakannya akan diterima seserius itu oleh si manis di depannya.
            "Bercanda kok Ri."
            "tapi aku enggak lagi bercanda. I always try my best. Aku enggak bakal nyakitin kamu lagi."
            Abi tersenyum. Tak merasa bahagia juga sedih. Rasanya kosong, hatinya terisi oleh rasa yang tak terdefinisi.
            Lauri: Aku sembuh. Berusaha menepati janji. Tapi aku manusia biasa betapapun aku mencoba semuanya tetap saja terasa begitu berat untukku. Cinta memang sudah susah diajak berlogika.
***
            "Sekarang aku sudah bisa makan sendiri, duduk sendiri, ngapa-ngapain sendiri. Sudah sehat, enggak perlu kamu lagi," kelakar Lauri sambil meninju bahu Abi.
            "Kalau gitu aku boleh pergo dong," balas Abi.
            "Pergi saja! Mau pergi ke mana? Ke Kutub?" tanya Lauri lagi sambil mengejek.
            "Bukan tapi ke Perancis. Besok," Lauri tertawa mengira itu sebuah lelucon buatan Abi, tapi dia berhenti begitu Abi tak ikut tertawa. Matanya tak sedang brkelakar matanya penuh keyakinan.
            "Bi...Apa salah aku?"
            "Enggak salah apa-apa lah. Jangan pikir macam-macam. Aku hanya ingin ngejar apa yang sempat tertunda. Kamu kan tahu aku mau jadi sutradara dan ada kesempatan untuk sekolah di Perancis. Itu saja."
            Lauri memaksa tersenyum dan melepaskan genggamannya terhadap tangan Abi. Rasanya begitu pilu tapi inilah satu-satunya cara untuk menebus dosanya pada Abi. Membiarkan pria itu bebas menemukan sendiri hidupnya.
***
            Abi: Aku tahu dia sudah berusaha dan mohon pada cupid supaya panah cintaku mengarah padanya kemudian dia bisa mencintaiku. Tapi cupid tak bisa dipaksa dia bekerja berdasarkan perintah Tuhan. Dan aku tak lagi ingin menyiksanya. Aku harus menjaga jantungnya tetap sehat tanpa tekanan. Karena jantungku berdetak seirama dengan jantungnya. Saar dia berirama cepat akupun begitu, saat dia tak berirama begitu pula dengan jantungku.
            Dan aku inginkan selalu jantungnya terus berdetak menghidupi raganya. Agar akupun bisa terus hidup. Selalu.
***


Oleh: Siksta Alia (from kaWanku Magazine)