Saturday, March 9, 2013

The Constellation-Chapter 3


Tittle                : The Constellation (Chapter 3)
Author             : Chen, Loveyta
PS                    : Don’t STEAL any quotes scenes, or even main idea. Be original, please :)



Chapter 3
Sesulit Itukah Melupakan Cinta Pertama?


Hai, Andromeda. Ini aku.
Baru saja aku bertemu dengan seorang pangeran di dunia mimpi. Ia tampak seperti salah satu bagian kerajaan, nyaris sempurna. Kesan awalku perjumpa dengannya, tak ada kata-kata lain yang kuucapkan selain sempurna. Aku belum merasakan sesuatu aneh saat berdiri dekat dengannya, tidak seperti perjumpaanku dengan Tristan. Biasanya aku tahu tanda-tanda jatuh cinta. Tapi saat ini aku belum menemukan tanda itu.
Andromeda, menurutmu aku masih belum bisa jatuh cinta karena Tristan sudah mengambil hatiku? Andaikan aku sanggup mencari pengganti posisinya, apakah pangeran di dunia mimpi itu orang yang tepat? Hal aneh yang harus kupertanyakan adalah mengapa kehadiran sang pangeran bertepatan di saat hatiku gunda karena perasaanku yang tak menentu pada Tristan?
Andromeda, aku belum tahu namanya. Aku berharap di setiap mimpiku, ia datang dan menampakkan diri di depanku. Ingin rasanya aku bisa pergi ke dunia mimpi kapan saja dan mencarinya jikalau aku tidak memiliki darah manusia lagi. Hanya saja aku belum lama meninggalkan duniaku dulu. Aku masih memiliki setengah kehidupan manusiaku.
Jangan lama-lama kalau mengembara. Aku tahu Hunter tidak lagi memburumu.

Bintang ke tujuh,
Rabella

*skip*

Kebanyakan putri Bintang Terpilih memiliki sahabat dari bagian peri rasi bintang. Seperti aku yang bersahabat dekat dengan Andromeda dan Virgo. Setahuku, sahabat sejati Melody adalah Canes Venatici; seorang peri rasi bintang yang memiliki tugas sebagai pemburu melalui anjing-anjing miliknya.
Kau masih ingat pesta di dunia musik? Pestanya akan diadakan nanti malam. Tentu saja aku datang ditemani Andromeda dan Virgo. Beruntung sekali Virgo berhasil menjerat Aries hanya modal sekali kedipan mata. Aku tidak tahu Andromeda berpasangan dengan siapa—nah, aku sendiri bingung harus berdansa dengan siapa?
Ketika aku sibuk memikirkan pesta nanti malam, Juliesse tengah mengoceh sambil memintal benang di sebuah ruangan istana. Aku duduk-duduk di sebelahnya, melihat aktifitasnya, tapi pikiranku seolah mengembara jauh mengikuti hembusan angin. Rasanya apa yang kulakukan saat ini sangat membosankan. Aku ingin pergi kemanapun, asal ada yang menemaniku. Juliesse bilang ia tidak sudi datang ke pesta di dunia musik. Alibi pertama karena ia membenci Melody. Alibi kedua, ia sudah putus hubungan dengan Grady. Alibi ketiga, ia benci berada di dunia musik dan mendengarkan nyanyian-nyanyian merdu.
Aku tidak akan memaksanya ikut. Sebenarnya tidak hanya Juliesse yang tidak suka berada di dunia musik. Andromeda sama bencinya mengunjungi dunia dimana orang-orang tak luput dari alat musik dan bernyanyi. Kau akan suka kalau sudah berada di sana, itu kalau kau memang mencintai musik.
“Juliesse, siapa yang melakukan itu padamu?” tanyaku tersadar tatkala melihat pipi kanan Juliesse memerah, seperti bekas tamparan.
Mendengar pertanyaanku, Juliesse segera mengalihkan wajahnya. Walau ia berusaha keras menutupi pipinya dengan rambut panjangnya, aku masih bisa melihat bagian memar pada pipi Juliesse yang mulus. Segera kuhampiri ia, mengamati wajahnya baik-baik meskipun berulang kali Juliesse menolak memperlihatkan memar di pipinya.
“Aku hanya jatuh,” dustanya. Meski aku bukanlah Tristan yang bisa mengenali mana perkataan dusta dan mana kebenaran, raut wajah Juliesse menunjukkan ketakutan dan gugup.
“Apa si brengsek Grady menamparmu?” geramku. Tanganku sudah terkepal dan gigiku bergemelatukan menahan amarah meluap.
“Oh, tidak, Bella. Bukan Grady…”
“Lantas siapa?!” nadaku naik setengah oktaf.
Sambil menarik napas dalam, Juliesse menyibak rambutnya, memperlihatkan rona merah bekas tamparan pada pipinya yang semulus kapas. “Janji, jangan katakan pada siapa-siapa. Dan jangan mengajak ribut. Kau mau memegang janjiku?”
Aku mengangguk. Kalau tidak begitu, Juliesse tidak mau jujur padaku.
“Mikaela. Grady mengatakan padanya kalau aku merayunya, sehingga membuat Mikaela naik pitam dan menamparku.”
Aku mengangakan mulut selebar karung. Berani sekali Grady menyebabkan pertengkaran antara Mikaela dan Juliesse sampai membuat sahabatku terkena imbasnya? Ini tak bisa dibiarkan. Aku akan memberikan pelajaran pada mereka berdua. Meskipun Grady yang menyebabkan Mikaela menampar Juliesse, Mikaela juga sudah bertindak kasar. Aku sudah mengatakannya bukan kalau aku benci ada yang bersikap kasar pada sahabatku? Tentu saja aku tidak akan mengatakannya pada Juliesse. Akan kusimpan sendiri rencanaku membalas perbuatan mereka.
“Aku tidak akan mengajak ribut,” dustaku sambil menyengir palsu.


Aries bilang akan ada pengadu dombaan yang terjadi di antara kami sehingga membuat makhluk galaksi terpecah belah dan saling berperang? Siapa penyebab peperangan itu nantinya? Aku tak tahu harus bertindak bagaimana. Ratu Leto belum memberikan perintah pada ke tujuh Bintang untuk berjaga-jaga akan terjadinya kemungkinan yang buruk. Aku tengah memikirkan semua persoalan itu sampai kehadiran beberapa orang mengalihkan pikiranku sejenak.
Aku melihat Heaven datang menunggangi seekor kuda terbang yang turun mendekatiku. Selang beberapa lama, Serenity memacu kudanya lincah, datang dari arah timur. Aku melihat kedatangan mereka yang terasa aneh. Apalagi saat kulihat wajah-wajah itu.
Kuda terbang Heaven berjalan pelan mendekatiku. Aku berdiri menghampirinya, kemudian membagi pandanganku ke arah Serenity yang sudah beberapa meter di dekatku. Saat Heaven turun dari kudanya, kuda terbang berwarna putih tersebut berubah bentuk menjadi seorang gadis sebaya bermata lentik yang memiliki rambut pirang panjang. Ia adalah Pegasus, salah satu peri rasi bintang.
“Belum ketinggalan cerita, kan?” tanya Serenity sembari berjalan pelan menarik kudanya.
Heaven menggeleng. “Ini akan menjadi rahasia besar yang tak boleh diketahui siapapun. Apalagi Ratu Leto. Kita akan membicarakan masalah yang tengah dihadapi makhluk galaksi di suatu tempat.”
“Tunggu, memangnya apa yang terjadi?” tanyaku penasaran.
Pegasus menarik napas dalam. “Kau bisa bertanya pada Andromeda kalau dia datang. Virgo jelas tak akan mau membocorkan rahasia rasi bintang.”
Aku menaikkan kedua alisku tidak paham. Mereka datang kemari hanya untuk memberitahu perihal yang aneh dan tidak kumengerti?
“Aku tahu kau bingung.” Serenity melirik Heaven. “Datang saja di pesta nanti. Kita bertemu di bawah kanopi bunga.”
Belum sampai aku bertanya-tanya lagi, Serenity sudah naik ke atas kudanya dan memacu cepat. Sama halnya dengan Heaven. Pegasus berubah menjadi kuda terbang lagi dan membawa Heaven kembali menuju dunia langit. Sedang aku? Aku melongo karena bingung, merasa tidak tahu apa-apa mengenahi rencana yang akan berjalan.
Aku sudah mengatakannya padamu, aku paling bodoh di antara Bintang terpilih. Sekarang aku hanya menunggu Andromeda datang lagi dan mengatakan padaku mengenahi rahasia rasi bintang. Apa ini ada kaitannya dengan kematian Itzel, sang Bintang ke tujuh sebelum aku? Ratu Kismet yang membunuhnya karena pengetahuan yang dimiliki Itzel. Tapi menurutku tidak harfiah ia melakukan itu hanya karena Itzel mengetahui rahasia dunia bawah. Mengapa Ratu Kismet tidak membunuh Miranda pula?
Dan soal kekuatan para Bintang yang menurut Ratu Leto akan dicuri, aku rasa ada hubungannya pula dengan kematian Itzel. Apa jangan-jangan Ratu Kismet dalang dari semua ini? Maksudku, apakah ia yang sedang dicurigai Ratu Leto? Mana mungkin Ratu Kismet yang akan merencanakan hal buruk karena sampai saat ini ia masih mempertahankan Miranda. Kalau ia berniat mengambil kekuatan Miranda, pastinya sudah sedari dulu Miranda mati.
Aku sungguh bingung. Dan berhasil diherankan dengan semua kegilaan di sini.


Ini adalah saat yang tepat untuk kubalas perlakuan Mikaela dan Grady. Mereka berdua tengah asik bercanda sambil berlatih olahraga panah. Melihat kebahagiaan mereka, aku justru ingin mencabik-cabik keduanya. Berani sekali mereka tertawa saat Juliesse tersiksa?! Tidak hanya kucabik, pikiranku memerintahkan untuk kuberikan rasa kepedihan luar biasa pada pasangan sinting itu. Grady sialan. Sudah berhasil menjerat Juliesse—bahkan aku tertipu akan matanya yang penuh tatapan cinta saat memandang Juliesse—lalu menghempaskannya begitu saja. Sakit. Pastinya. Mikaela sialan. Berani menampar Juliesse dan tidak mempercayai penjelasan Juliesse ketika mereka berseteru. Entah mengapa soal percintaan justru membuatku terbawa emosi. Sialan! Orang jatuh cinta memang sialan!
“Dasar idiot, bocah, tolol, sialan…” Aku sudah mengmpulkan energi negatif di kepalan tanganku untuk kukerahkan pada mereka berdua. Saat hendak melempar energi itu, mendadak aku seolah terhanyut dalam delusi gilaku. Aku mendadak memutar ulang peristiwa sama, seperti yang dilakukan Grady dan Mikaela saat ini; peristiwa serupa yang kulakukan bersama Tristan, dulu, sebelum terjadinya aliansi itu. Bagaimana aku bisa memutar kenangan lama yang justru menyumbat arteriku?!
Aku seolah tergolek tak berdaya, lemas melihat kenangan itu. Kelemahan parahku, tentu saja! Aku terlalu teatrikal dalam memahami sebuah hubungan. Aneh. Aku tidak pernah merasa sekebas ini. Mengapa bayangan Tristan masih terlihat jelas di benakku?
Tawa itu, tawa kebersamaan kami tentunya. Awal aku belajar menggunakan busur dan anak panah, dengan senang hati Tristan mengajariku melesatkan anak panah yang kupegang. Didekapnya aku dari belakang, menyentuh kedua tanganku saat aku berusaha melihat bidikanku dengan sebelah mata, dan melihat bagaimana bidikanku kena sasaran. Pertama kalinya aku berhasil membidik targetku atas bantuan Tristan. Melihat tawa senangku, tawa penuh dengan kebahagiaan yang belum pernah kudapatkan semasa aku hidup di dunia—kau tak akan mau melihat gambaran itu, percayalah, apalagi jika kau teringat akan sosok seseorang, bagian masa lalumu. Lantas Tristan membalikkan badanku dan aku menghilangkan senyuman lebarku, terperdaya oleh kedua matanya seolah mencemoohku. Sungguh sorot mata hangat yang selalu membuatku nyaman tiap ditatap seperti itu—jarang ada orang seperti itu dalam hidupku dan aku menghabiskan waktuku untuk berterima kasih pada Tuhan yang telah mendatangkan Tristan. Meskipun aku hanya melihat potret kenangan itu, aku masih bisa merasakan sentuhan hangatnya pada pipiku yang merona kemerahan karena malu, seakan aku bertahan di bawah salju yang turun membasahi rambutku, seolah Winter—sang dewi musim dingin—memang sengaja membuatku menggigil kedinginan di bawah hujan salju. Tapi tidak. Aku tidak merasa kedinginan. Aku justru merasakan kehangatan yang tak akan kau dapatkan meskipun kau bersembunyi di balik selimut tebal. Rasanya melebihi saat menikmati teh di ruang keluarga, depan perapian, di tengah turunnya salju yang membuat rumahmu penuh dengan gumpalan putih. Ya! Jelas berbeda. Tidak hanya dari sentuhan lembutnya yang penuh perasaan, tetapi juga sewaktu ia mencium bibirku untuk yang pertama kalinya, sangat afeksi. Ini terlihat seperti lingkaran galaksi yang terbelah menjadi dua bagian, membentuk galaksi lainnya di luar galaksi Bima Sakti. Tidak, aku tidak tinggal di daratan galaksi Bima Sakti seperti dirimu. Aku tinggal di sana, ketika aku masih hidup sebagai manusia. Dan yang kurasakan saat itu kurang lebih seperti terlempar jauh dari pusat galaksi. Aku tidak bisa menyebut itu sebuah ikatan, aliansi. Walaupun aku belum pernah merasakan bagaimana takdir mempersatukan seseorang yang kau sebut dengan jodoh, aku bisa memahami keindahannya. Kalau kau penasaran, tanyakan saja pada Melody yang sangat beruntung mendapatkan Tristan. Tentu saja jodohnya.
“Sudah hilang rasa kesalmu?” seseorang menyentuh pundakku. Dan aku terhenyak, tersadar oleh lamunanku sendiri. Potongan-potongan kenangan itu lenyap sudah. Sejujurnya aku agak sedih melihat kenangan itu hilang begitu saja.
Aku melihat Raja Leander tertawa misterius di sebelahku. Mikaela dan Grady masih bercanda satu sama lain. Entah mengapa aku tidak berminat lagi menghajar mereka.
“Mereka hanya jatuh cinta, Bella. Dan kau benci melihat orang jatuh cinta?” ia meneruskan. Seolah mengetahui pikiranku, Raja Leander tertawa lagi. Aku lebih memilih untuk membungkan mulutku sejenak. “Kau pernah merasakan yang namanya jatuh cinta? Kurang lebih seperti ada ribuan kupu-kupu yang menggelitik perutmu.”
Aku menoleh ke arahnya. “Aku sudah lupa rasanya jatuh cinta. Yang ada, aku semakin tahu rasanya sakit.”
Bukannya tersinggung atas ucapanku, Raja Leander justru tertawa. Ia mendekapku untuk menghindar dari sana. Kami berjalan perlahan meninggalkan tempat itu, entah kemana. Aku seperti boneka kecil di sebelahnya saat ia mengajakku pergi. Barulah aku menyadari kalau ia mengajakku ke sungai Macy. Tempat itu memang damai. Tak mengherankan kalau Raja Leander juga menyukai tempat itu.
“Untuk ke sekian kalinya, Bella. Kendalikan emosimu.” Raja Leander tersenyum bijak. “Apa karena kau kesal melihat Juliesse dipermainkan Grady? Kau bahkan tidak tahu atas dasar apa Grady melakukan itu. Dia bukan bermaksud mempermainkan Juliesse. Dia hanya sedang jatuh cinta. Tapi pada waktu yang salah.”
Aku belum membantah. Bagaimana bisa aku membantah kalau Raja Leander sendiri sebenarnya tahu segala hal isi hati seluruh makhluk di dunia khayal? Dan ia juga mengetahui isi hatiku. Tidak mengherankan kalau tiba-tiba saja ia berkata seperti itu.
“Kau tidak perlu membalas perbuatan buruk dengan perbuatan yang sama. Suatu saat nanti kau akan belajar arti kesabaran yang sesungguhnya.” Raja Leander menepuk pundakku. “Benar kan kau masih tidak bisa berhenti memikirkan Tristan? Bahkan sampai-sampai kau tidak sanggup mengendalikan kenangan yang datang secara tiba-tiba itu.”
Aku mengerucutkan bibir kesal. “Ya. Oke. Aku mengaku sekarang.”
“Cobalah, cobalah membuka sedikit celah untuk orang lain, Bella. Aku yakin akan ada pengganti Tristan bagimu. Hanya saja belum saat ini.”
Mau tak mau aku membalasnya dengan senyuman simpul. Yang kemudian kuubah menjadi senyuman kecut.


Sudah sore dan Andromeda belum datang juga?! Ia sudah mengambil suratku tapi aku tidak menemukannya. Bahkan saat kubuka almari pakaianku, mencari gaun mana yang cocok untuk kukenakan di dunia musik, Andromeda belum kunjung tiba. Sepertinya Virgo sibuk berdandan untuk Aries. Aku tidak akan memaksanya membantuku berdandan. Lagipula aku bisa berdandan sendiri.
“An, kemana kau?” dengusku kesal seraya membedah almari pakaianku.
Seperti kejutan aneh, ada yang mematuk pintu kaca balkonku. Seekor merpati putih terlihat mematuk pintu itu berkali-kali. Aku berlari cepat dan membuka pintunya. Merpati itu terbang masuk, berubah menjadi sesosok gadis berambut merah; tentu saja itu Andromeda.
“Lama sekali kau?” seruku setengah kesal.
Andromeda menyengir tanpa ada rasa bersalah. Ia mengamati potongan-potongan baju yang kuletakkan di atas kasur. Kemudian berdecak pelan.
“Niat sekali kau ini. Berdandan untuk Tristan, Tuan Putri?”
“Diam,” selorohku tajam.
Bukannya kubuat merasa bersalah, Andromeda justru tertawa cekikikan. Ia duduk di atas kasurku, melihat-lihat seluruh gaun yang kupertimbangkan untuk pesta nanti malam. Lalu diambilnya satu gaun untukku.
“Ini bagus. Kau tak pernah memakai ini, Bella?” Andromeda memamerkan gaun berwarna krem di depanku.
Aku menggeleng. “Itu gaun yang buruk. Aku tidak suka.”
Andromeda tahu betul bagaimana seleraku. Dan ia sedikit kesulitan karena kami tidak sependapat kalau soal gaya berpakaian. Andromeda memang lebih sering tampil dengan gaya pakaian tradisional seperti masyarakat Hungaria. Tapi kalau sudah di acara resmi, ia akan mengenakan dress bertali yang cukupmanis.
Sambil menemaniku mencari gaun yang cocok, Andromeda mulai membuka percakapan. “Well, kau bertemu dengan seorang pangeran di dunia mimpi?”
Aku mengangguk.
“Dan tidak tahu namanya?’
Aku mengangguk lagi.
“Aku akan datang memastikannya. Atau saat kau tidur, aku bisa menemanimu ke dunia mimpi itu.”
“Kalau kau bersedia.” Aku mengembangkan senyuman lebar.
Kami terdiam lagi. Kali ini kukeluarkan gaun-gaun yang sering kupakai atau yang kusuka. Andromeda mengamati gerakanku; ia menelengkan kepalanya seperti anak kecil.
“Aku juga melihat kau mendapatkan sedikit kenangan itu. Fleshback, huh?”
Mataku membulat mendengarnya. “Sudahlah. Bukankah kau sendiri yang bilang kalau aku harus melupakan dia?”
Aku melempar potongan-potongan gaunku tepat ke muka Andromeda. Ia terpekik kaget. Kurebahkan tubuhku di atas kasur sambil menarik napas panjang.
“Sudah sadar rupanya.” Andromeda ikut-ikutan berbaring di sebelahku. “Well, kalau kenangan-kenangan tentang Tristan masih ada dan sering muncul, itu tandanya kau gagal, Bella. Mengerti maksudku, kan?” Andromeda menoleh ke arahku.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. “Bisakah Ratu Leto menghapus pikiranku mengenahi dia?”
“Haha. Bisa.” Andromeda memelankan suaranya. “Tapi rasanya sangat menyakitkan. Percayalah, lebih baik tidak usah meminta bantuannya. Bahkan percuma juga. Aku sudah dibedah olehnya dan kebiasaanku masih ada tuh.” Tanpa rasa bersalah, Andromeda mengeluarkan sebuah benda berkilau, kunci emas berukiran huruf Latin. Aku memutar mata jengah.
“Dasar klepto.”
“Hunter tidak akan berhenti kalau aku belum memberikan janjiku padanya.” Andromeda menarik napas dalam-dalam, menyembunyikan lagi kunci curiannya di dalam saku bajunya. “Nanti malam kita pergi. Dan dia akan menunggumu. Coba saja, Bella. Barangkali Hunter bisa membuatmu lupa dengan Tristan?”
Aku tidak membalas. Bisakah semudah itu? Aku akan mencoba menghilangkan sedikit demi sedikit perasaanku pada Tristan. Mungkin dengan membaurkan diri dengan orang lain, memberi kesempatan orang lain memasuki bagian terkecil hatiku.
“Heaven dan Serenity datang. Mereka membocorkan sedikit tentang keresahan yang terjadi saat ini. Dan aku disuruh untuk bertanya padamu. Ada apa?”
Mendadak air muka Andromeda berubah. Ia terlonjak dari kasurku, berdiri sedikit menjauh. Aku duduk kebingungan melihat ekspresinya seperti itu. Sudah kuduga rahasia rasi bintang kali ini mengancam eksistensi jagad raya.
“Kau tidak boleh mencampuri urusan rasi bintang, Bella! Tidak boleh! Aku tidak mau kau mendapat hukuman kejam dari Ratu Leto!” nada Andromeda naik sangat drastis. Kulihat ia dengan saksama. Ada kepanikan, ketakutan, kekhawatiran pada dirinya.
“Rileks, An. Aku tahu. Tapi kalau aku tidak ikut bertindak, itu sama saja membiarkan bahaya semakin menyebar. Katakan saja apa yang tengah terjadi. Aries bilang akan ada adu domba di antara kita. Siapa pelakunya? Apa motifnya? Mengapa?”
“Sepertinya belum saatnya.” Andromeda menjauh sedikit. “Percayalah, Bella. Kalau kau tetap memaksaku bercerita dan kau tetap ikut campur masalah kegalaksian, aku tidak akan muncul di hadapanmu.”
“Oh tidak, Andromeda!” Aku berdiri mendekatinya. “Jangan lakukan itu padaku! Kau sahabatku!”
“Ya, karena aku sahabatmu, aku berusaha menjauhkanmu dari bahaya.” Andromeda mencebikkan bibirnya.
Aku menghela napas panjang. Lalu kupeluk Andromeda erat. Ia membalas pelukanku sama eratnya. Aku tidak akan memaksanya mengatakan rahasia rasi bintang kalau ia tidak mau. Tapi mengapa? Padahal Pegasus saja sudah mengatakannya pada Heaven. Dan aku yakin, Leo—sama seperti peri rasi bintang lainnya, dan ia adalah bintang keberanian—sudah mengatakannya pada Serenity. Lantas, mengapa Andromeda seolah takut aku ikut campur?
“Maafkan aku, Andromeda,” bisikku pelan.

To be continued…


--------------

lol, honestly, in the fact I'm her fans. yayaya she called me 'Chenatics' -_- whatever, I really love her, she's like my sister. buy and read her books: Summer, Lortedox, and Lortedox 2 (comming soon) and then, you'll know the reason why I being a Chenatics. -Zara